Ideologi, derivasi kata ideologues yang muncul pasca Revolusi Perancis, memang telah kadung 'dinodai' oleh Napoleon, Marx dan Engels. Bahkan, kaum Hegelian muda pun turut 'melukai' ideologi karena menyekapnya hanya dalam jebakan ide dan kritik ide-ide, sehingga cenderung melihat bahwa ide-ide dan 'produk-produk kesadaran' yang lain hanya bertumpu pada kondisi material kehidupan sosial. Untuk mengkritisi kondisi itulah, buku besar ini ditulis dengan membawa segumpal 'semangat dekonstruksi-kritis' yang memperkaya wacana ideologi dalam sebuah refleksi bahasa. Thompson berupaya mengeksplorasi aspek-aspek penggunaan bahasa yang selama ini diabaikan oleh beberapa perspektif linguistik dan filsafat bahasa. Dengan cara membangun inter-relasi antara bahasa dan ideologi, Thompson sepenuhnya menolak analisa statis terhadap bentuk-bentuk kalimat dan sistem tanda yang telah mapan, dan lebih memasuki bentuk ekspresi-ekspresi pemberian makna dan tindakan yang dari situ sejarah diproduksi dan kehidupan sosial dikembangkan. Teori ideologi semacam inilah yang akan mampu melihat bahasa bukan sekedar sebagai struktur yang digunakan oleh komunikasi dan pertunjukkan, tapi sebagai fenomena sejarah sosial yang melibatkan konflik manusia, yang dari dalamnya jugalah konstelasi ideologi terkelindankan.

Tak mengherankan karenanya, bila kritik ideologi-ideologi Thompson ini kemudian melibatkan aspek kekuasaan dan bahasa, hermeneutika, struktur percakapan, struktur gramatikal, sistem kepercayaan, proyeksi rasional, analisis wacana hingga kemelut rasionalisasi kebenaran. Ini kian dikukuhkan dengan ketajaman analisis komparatif Thompson terhadap beberapa tokoh penting ideologi, seperti Giddens, Ricouer, Gouldner, Seliger hingga Habermas yang berhasil menempatkan buku ini sebagai 'International Grandbook of Ideological Studies'. Sangat wajar akhirnya kalau karya ini dijadikan refrensi wajib (daras) dalam studi ilmu-ilmu sosiologi, antropologi, politik dan humaniora pada umumnya.